Minggu, 05 Juli 2015

Memaknai Kalimat “Memanusiakan Manusia”


            Setiap manusia dibentuk atau dibekali oleh pendidikan agar dapat merasakan kemerdekaan dirinya. Merdeka berarti kebebasan. Jadi melalui pendidikan kita dididik agar kita menjadi individu yang bisa “melawan” terhadap penindasan yang dialaminya. Kedua, kita di didik agar menjadi manusia yang memiliki akal budi yang mampu membedakan mana yang benar maupun yang salah, yang berani memperjuangkan kebenaran apapun risikonya. Manusiawi mempunyai arti memperlakukan seseorang itu seperti memperlakukan diri sendiri. Jadi disini kita tidak boleh membedakan seseorang itu berdasarkan golongannya, status sosialnya, maupun keterbatasannya dan hal-hal lain yang dapat menciptakan perbedaan bagi sesama manusia. Karena setiap manusia itu mempunyai hak asasi sama yang sudah melekat sebelum manusia itu dilahirkan dan juga manusia itu adalah makhluk sosial yang saling memiliki ketergantungan satu sama lain.
         Manusia harus memiliki prinsip,nilai,dan rasa kemanusiaan yang melekat pada dirinya. Manusia memiliki akal budi yang bisa memunculkan rasa atau perikemanusiaan. Perikemanusiaan inilah yang mendorong prilaku baik sebagai manusia. Memanusiakan manusia berarti perilaku manusia untuk senantisa menghargai dan menghormati harkat, martabat dan derajat manusia lainnya. Memanusiakan manusia berarti tidak menindas sesama, tidak menghardik, tidak bersifat kasar, tidak menyakiti dan perilaku-perilaku tercela lainnya.
             Memanusiakan manusia berarti memanusiakan antarsesama, menguntungkan bagi diri sendiri dan orang lain. Bagi diri sendiri menunjukan harga diri dan nilai luhur pribadinya sebagai manusia, bagi orang lain memberikan rasa percaya, hormat, kedamaian dan kesejahteraan hidup. Sebaliknya,sikap tidak manusiawi terhadap manusia lain hanya akan merendahkan harga diri dan martabatnya sebagai manusia yang sesungguhnya makhluk mulia sedangkan bagi orang lain sebagai korban tindakan yang tidak manusiawi menciptakan penderitaan, kesusahan, ketakutan, maupun rasa dendam.
       Kata-kata "Memanusiakan Manusia" kerap ditujukan pada pelayanan pemerintah kepada rakyatnya. Singkatnya, pelayanan publik yang dirasakan oleh masyarakat. Konsep "Memanusiakan Manusia" bukan hanya terbatas di bidang pelayanan publik saja. Kata-kata "Memanusiakan Manusia" menyentuh seluruh dimensi kehidupan manusia. Bahkan dunia pendidikan di Indonesia menggunakan konsep ini. Kurikulum pendidikan di Indonesia saat ini dibuat dengan konsep "Memanusiakan Manusia".Sejatinya konsep "Memanusiakan Manusia" merupakan bagian dari humanisme. Humanisme berarti sifat manusiawi atau sesuai dengan kodrat manusia (A. Mangunhardjana dalam Haryanto Al-Fandi, 2011:71). Dari berbagai literature, pengertian humanisme adalah paham yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik. Dalam aplikasinya, humanisme tidak memandang bangsa, agama, daerah, suku, warna kulit dan sejenisnya. Ia memperlakukan dan berusaha membantu siapa pun itu manusianya. Selain itu dalam kamus bahasa Indonesia istilah memanusiakan manusia merupakan upaya untuk membuat manusia menjadi berbudaya.
         Ada juga pengertian "Memanusiakan Manusia" adalah menjadi manusia seutuhnya. Artinya, sebagai ciptaan Tuhan paling mulia, kebahagiaan utama adalah tatkala kita dapat menjadikan sesama manusia lebih terdidik, lebih bermartabat, lebih sukses, lebih pintar dan lebih baik hidupnya. Di situlah baru seseorang benar-benar memperoleh ‘gelar kemanusiaannya’. Selama kepintaran, keterdidikan, kesuksesan, kekayaan, dan semua kelebihan yang dimiliki hanya untuk kepentingan dan kepuasan diri sendiri, berarti belum menjadi manusia utuh sebagaimana seharusnya. Dapat dibayangkan, bila konsep "Memanusiakan Manusia" ini kita terapkan dalam kehidupan sehari - hari, baik dalam lingkup pertemanan ataupun di pekerjaan, akan tercipta hidup yang harmonis. Sesama manusia saling menghargai. Tidak ada tindakan yang merendahkan, mencibir atau hal lainnya yang membuat sakit hati dan sebagainya. Bila itu diterapkan dalam sebuah pelayanan publik, maka pelayanan publik pun berjalan dengan baik. Memang tidak ada batasan atau ukuran pasti kita sudah melakukan hal "Memanusiakan manusia". Tidak ada juga ukuran yang pasti kita melakukan hal yang "Tidak Memanusiakan Manusia". Ukuran ini terkait dengan rasa perikemanusiaan yang ada dalam diri kita. Namun ada baiknya rasa perikemanusiaan kita dipertebal akan kita semakin peduli terhadap sesama. Kepedulian kita dalam bentuk nyata akan membawa kita ke arah tindakan "Memanusiakan Manusia".
Memanusiakan Manusia Dari Segi Pendidikan                                                      
            Pendidikan adalah proses pendewasaan anak didik agar mampu menjalani kehidupan pada zamannya sehingga dunia pendidikan harus melahirkan sikap insan cendekia. Tanpa sikap cendekia dan semangat intelektualitas maka pendidikan hanya akan menghasilkan orang-orang cacat moral. Jika suatu bangsa mengalami kebobrokan berarti ada yang tidak beres dalam proses pendidikan. Filosofi semangat pendidikan adalah memanusiakan manusia, bukan memintarkan manusia. Itulah beberapa pernyataan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Mahfud MD dalam acara syawalan 1433 H di Auditorium Universitas Negeri Yogyakarta. Menarik menyikapi hal tersebut, karena selain mengungkap harapan besar terhadap dunia pendidikan tetapi juga mengkritisi keadaan dunia pendidikan yang seolah-olah menjadi tersangka utama dalam “kebelum berhasilan” memanusiakan manusia Indonesia walaupun sudah bisa dikatakan “berhasil” dalam memintarkan manusia Indonesia.
Bukti bahwa pendidikan kita saat ini “sudah” berhasil dalam memintarkan manusia tolak ukurnya mudah yaitu dengan melihat tingkat kelulusan ujian akhir nasional peserta didik. Jika tingkat kelulusan ujian akhir nasional di suatu daerah tinggi maka bisa dikatakan bahwa pendidikan telah mampu memintarkan peserta didik. Tetapi apakah dengan kemampuan memintarkan peserta didik tersebut pendidikan juga telah mampu memanusiakan peserta didik? Tolak ukurnyapun tidak terlalu sulit yaitu dengan melihat sikap peserta didik. Saat bertemu dengan orang yang lebih tua apakah peserta didik bersikap sopan dan santun? Apakah peserta didik dalam berkendara sudah mematuhi peraturan lalu lintas? Apakah peserta didik menghormati keragaman suku, adat, ras dan agama? Apakah peserta didik malu saat melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat? Semua pertanyaan tersebut akan mengarah kepada jawaban bahwa dunia pendidikan kita sudah mampu memanusiakan manusia atau belum. Tentu semua dari kita bisa menjawabnya dengan argumentasi berbeda-beda. Terkait atau tidak terkait dengan kemampuan dunia pendidikan dalam memintarkan ataupun memanusiakan peserta didik, tentu kita tidak boleh memvonis bahwa dunia pendidikan yang harus bertanggung jawab terhadap kebobrokan bangsa saat ini. Apalagi menyalahkan pendidik sebagai “ikon” dunia pendidikan. Segenap elemen bangsa bertanggungjawab terhadap ketidakberhasilan pendidikan kita dalam memanusiakan peserta didik.
Jika memang ingin pendidikan yang memintarkan sekaligus memanusiakan peserta didik, maka cara yang paling efektif dan efisien adalah dengan menghapuskan ujian akhir nasional, sehingga para guru akan bertanggungjawab penuh terhadap “output sikap” peserta didik yang pada akhirnya juga akan berimbas kepada “output nilai” peserta didik, bukan sebaliknya. Nilai bukanlah patokan “dimilikinya ilmu”, tetapi proses dalam belajar itulah yang seharusnya menjadi acuan utama.
       Sadar atau tidak, pendidikan selain untuk mencerdaskan bangsa, juga membantu untuk mendewasakan bangsa, sehingga bangsa bisa memiliki karakter yang berpendidikan moral. Secara mendasar, pendidikan ada karena ada manusia. Oleh karena itu, pendidikan ada hanya untuk manusia bukan untuk hewan atau sejenisnya. Hal mendasar seperti inilah yang perlu kita catat besar-besar di kepala kita khususnya bagi mereka yang menjadi seorang guru. Sebab kita sering kali melupakan bahwa orang yang menjadi amanat kita adalah manusia yang memiliki keragam dan keseragaman yang begitu kompleks.
         Sebuah pernyataan yang lazim dan sering kita dengarkan bahwa tujuan sejati pendidikan adalah menusiakan manusia. Ungkapan ini seakan terus diperbincangkan dan disetujui untuk dilaksanakan dalam praktik kehidupan sebagai penggiat dan pelaksana pendidikan. Satu hal yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya agar pendidikan dapat memanusiakan manusia? Pada hakikatnya seorang pendidik adalah seorang fasilitator. Fasilitator baik dalam aspek kognitif, afektif,  psikomotorik maupun konatif. Seorang pendidik hendaknya mampu membangun suasana belajar yang kondusif untuk belajar-mandiri. Ia juga hendaknya mampu menjadikan proses pembelajaran sebagai kegiatan eksplorasi diri. Galileo menegaskan bahwa sebenarnya kita tidak dapat mengajarkan apapun, kita hanya dapat membantu peserta didik untuk menemukan dirinya dan mengaktualisasikan dirinya. Setiap pribadi manusia memiliki “self hidden potential excellece” (mutiara talenta yang tersembunyi di dalam diri), tugas pendidikan yang sejati adalah membantu peserta didik untuk menemukan dan mengembangkannya seoptimal mungkin atau dalam ungkapan lain Emily Calhoun ratusan kali berkata “Mengajar yang sesungguhnya adalah mengajarkan siswa bagaimana belajar” atau “sekolah merupakan tempat untuk belajar bagaimana caranya belajar”. Seorang pendidik yang efektif, tidak hanya efektif dalam kegiatan belajar mengajar di kelas saja tetapi lebih-lebih dalam relasi pribadinya dan role modelnya, baik kepada peserta didik maupun kepada seluruh anggota komunitas sekolah.

        Dalam mendidik seseorang kita hendaknya mampu menerima diri sebagaimana adanya dan kemudian mengungkapkannya secara jujur. Mendidik tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, melatih keterampilan verbal kepada para peserta didik, namun merupakan bantuan agar peserta didik dapat menumbuh kembangkan dirinya secara optimal. Mendidik yang efektif pada dasarnya merupakan kemampun seseorang menghadirkan diri sedemikian rupa sehingga pendidik memiliki relasi yang bermakna pendidikan dengan para peserta didik sehingga mereka mampu menumbuh kembangkan dirinya menjadi pribadi dewasa dan matang. Pendidikan yang efektif adalah yang berpusat pada siswa atau pendidikan bagi siswa. Dasar pendidikannya adalah apa yang menjadi minat, dan kebutuhan-kebutuhan peserta didik. Pendidik membantu peserta didik untuk menemukan, mengembangkan dan mencoba mempraktikkan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki. Ciri utama pendidikan yang berpusat pada siswa adalah bahwa pendidik menghormati, menghargai dan menerima siswa sebagaimana adanya. Tujuan sejati dari pendidikan seharusnya adalah pertumbuhan dan perkembangan diri peserta didik secara utuh sehingga mereka menjadi pribadi dewasa yang matang dan mapan, mampu menghadapi berbagai masalah dan konflik dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia muda (N.Driyarkara). Semoga postingan artikel saya ini bermanfaat bagi para pembacanya. Kritik dan saran tentunya sangat saya harapkan, terima kasih.

Referensi:
Dipost tanggal 05 April 2013 11:42:35 http://www.kompasiana.com/palti/memaknai-kata-
           memanusiakan-manusia_552c77076ea83444338b456d diakses pada tanggal 29 Juni 2015
Dipost oleh Ismanto Guru Penias tanggal 31 Januari 2014
diakses pada tanggal 29 Juni 2015
            29 Juni 2015


                                                   Biodata :
                                                                         Nama       : Tri Lestari
                                                                        NPM        : 036113090
                                                              Semester :IV/C
Di posting tanggal 5 Juli 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar