Setiap
manusia dibentuk atau dibekali oleh pendidikan agar dapat merasakan kemerdekaan
dirinya. Merdeka berarti kebebasan. Jadi melalui pendidikan kita dididik agar
kita menjadi individu yang bisa “melawan” terhadap penindasan yang
dialaminya. Kedua, kita di didik agar menjadi manusia yang memiliki akal budi
yang mampu membedakan mana yang benar maupun yang salah, yang berani
memperjuangkan kebenaran apapun risikonya. Manusiawi mempunyai arti memperlakukan seseorang itu seperti memperlakukan diri
sendiri. Jadi disini kita tidak boleh membedakan seseorang itu berdasarkan
golongannya, status sosialnya, maupun keterbatasannya dan hal-hal lain yang
dapat menciptakan perbedaan bagi sesama manusia. Karena setiap manusia itu
mempunyai hak asasi sama yang sudah melekat sebelum manusia itu dilahirkan dan
juga manusia itu adalah makhluk sosial yang saling memiliki ketergantungan satu
sama lain.
Manusia harus
memiliki prinsip,nilai,dan rasa kemanusiaan yang melekat pada dirinya. Manusia
memiliki akal budi yang bisa memunculkan rasa atau perikemanusiaan. Perikemanusiaan
inilah yang mendorong prilaku baik sebagai manusia. Memanusiakan manusia
berarti perilaku manusia untuk senantisa menghargai dan menghormati harkat,
martabat dan derajat manusia lainnya. Memanusiakan manusia berarti tidak
menindas sesama, tidak menghardik, tidak bersifat kasar, tidak menyakiti dan perilaku-perilaku
tercela lainnya.
Memanusiakan
manusia berarti memanusiakan antarsesama, menguntungkan bagi diri sendiri dan
orang lain. Bagi diri sendiri menunjukan harga diri dan
nilai luhur pribadinya sebagai manusia, bagi orang lain memberikan rasa
percaya, hormat, kedamaian dan kesejahteraan hidup. Sebaliknya,sikap tidak
manusiawi terhadap manusia lain hanya akan merendahkan harga diri dan
martabatnya sebagai manusia yang sesungguhnya makhluk mulia sedangkan bagi
orang lain sebagai korban tindakan yang tidak manusiawi menciptakan
penderitaan, kesusahan, ketakutan, maupun rasa dendam.
Kata-kata "Memanusiakan Manusia" kerap
ditujukan pada pelayanan pemerintah kepada rakyatnya. Singkatnya, pelayanan
publik yang dirasakan oleh masyarakat. Konsep "Memanusiakan Manusia"
bukan hanya terbatas di bidang pelayanan publik saja. Kata-kata
"Memanusiakan Manusia" menyentuh seluruh dimensi kehidupan manusia.
Bahkan dunia pendidikan di Indonesia menggunakan konsep ini. Kurikulum pendidikan
di Indonesia saat ini dibuat dengan konsep "Memanusiakan Manusia".Sejatinya konsep "Memanusiakan
Manusia" merupakan bagian dari humanisme. Humanisme berarti sifat
manusiawi atau sesuai dengan kodrat manusia (A. Mangunhardjana dalam Haryanto
Al-Fandi, 2011:71). Dari berbagai literature, pengertian humanisme adalah paham
yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan
hidup yang lebih baik. Dalam aplikasinya, humanisme tidak memandang bangsa,
agama, daerah, suku, warna kulit dan sejenisnya. Ia memperlakukan dan berusaha
membantu siapa pun itu manusianya. Selain itu dalam kamus bahasa Indonesia
istilah memanusiakan manusia merupakan upaya untuk membuat manusia menjadi
berbudaya.
Ada juga pengertian
"Memanusiakan Manusia" adalah menjadi manusia seutuhnya. Artinya,
sebagai ciptaan Tuhan paling mulia, kebahagiaan utama adalah tatkala kita dapat
menjadikan sesama manusia lebih terdidik, lebih bermartabat, lebih sukses,
lebih pintar dan lebih baik hidupnya. Di situlah baru seseorang benar-benar
memperoleh ‘gelar kemanusiaannya’. Selama kepintaran, keterdidikan, kesuksesan,
kekayaan, dan semua kelebihan yang dimiliki hanya untuk kepentingan dan
kepuasan diri sendiri, berarti belum menjadi manusia utuh sebagaimana
seharusnya. Dapat dibayangkan, bila konsep "Memanusiakan Manusia" ini
kita terapkan dalam kehidupan sehari - hari, baik dalam lingkup pertemanan
ataupun di pekerjaan, akan tercipta hidup yang harmonis. Sesama manusia saling
menghargai. Tidak ada tindakan yang merendahkan, mencibir atau hal lainnya yang
membuat sakit hati dan sebagainya. Bila itu diterapkan dalam sebuah pelayanan
publik, maka pelayanan publik pun berjalan dengan baik. Memang tidak ada
batasan atau ukuran pasti kita sudah melakukan hal "Memanusiakan
manusia". Tidak ada juga ukuran yang pasti kita melakukan hal yang
"Tidak Memanusiakan Manusia". Ukuran ini terkait dengan rasa perikemanusiaan
yang ada dalam diri kita. Namun ada baiknya rasa perikemanusiaan kita
dipertebal akan kita semakin peduli terhadap sesama. Kepedulian kita dalam
bentuk nyata akan membawa kita ke arah tindakan "Memanusiakan
Manusia".
Memanusiakan
Manusia Dari Segi Pendidikan
Pendidikan
adalah proses pendewasaan anak didik agar mampu menjalani kehidupan pada
zamannya sehingga dunia pendidikan harus melahirkan sikap insan cendekia. Tanpa
sikap cendekia dan semangat intelektualitas maka pendidikan hanya akan
menghasilkan orang-orang cacat moral. Jika suatu bangsa mengalami kebobrokan
berarti ada yang tidak beres dalam proses pendidikan. Filosofi semangat
pendidikan adalah memanusiakan manusia, bukan memintarkan manusia. Itulah
beberapa pernyataan yang disampaikan oleh Prof. Dr. Mahfud MD dalam acara
syawalan 1433 H di Auditorium Universitas Negeri Yogyakarta. Menarik menyikapi
hal tersebut, karena selain mengungkap harapan besar terhadap dunia pendidikan
tetapi juga mengkritisi keadaan dunia pendidikan yang seolah-olah menjadi
tersangka utama dalam “kebelum berhasilan” memanusiakan manusia Indonesia
walaupun sudah bisa dikatakan “berhasil” dalam memintarkan manusia Indonesia.
Bukti
bahwa pendidikan kita saat ini “sudah” berhasil dalam memintarkan manusia tolak
ukurnya mudah yaitu dengan melihat tingkat kelulusan ujian akhir nasional
peserta didik. Jika tingkat kelulusan ujian akhir nasional di suatu daerah
tinggi maka bisa dikatakan bahwa pendidikan telah mampu memintarkan peserta
didik. Tetapi apakah dengan kemampuan memintarkan peserta didik tersebut
pendidikan juga telah mampu memanusiakan peserta didik? Tolak ukurnyapun tidak
terlalu sulit yaitu dengan melihat sikap peserta didik. Saat bertemu dengan orang
yang lebih tua apakah peserta didik bersikap sopan dan santun? Apakah peserta
didik dalam berkendara sudah mematuhi peraturan lalu lintas? Apakah peserta
didik menghormati keragaman suku, adat, ras dan agama? Apakah peserta didik
malu saat melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma yang berlaku di
masyarakat? Semua pertanyaan tersebut akan mengarah kepada jawaban bahwa dunia
pendidikan kita sudah mampu memanusiakan manusia atau belum. Tentu semua dari
kita bisa menjawabnya dengan argumentasi berbeda-beda. Terkait atau tidak
terkait dengan kemampuan dunia pendidikan dalam memintarkan ataupun
memanusiakan peserta didik, tentu kita tidak boleh memvonis bahwa dunia
pendidikan yang harus bertanggung jawab terhadap kebobrokan bangsa saat ini.
Apalagi menyalahkan pendidik sebagai “ikon” dunia pendidikan. Segenap elemen
bangsa bertanggungjawab terhadap ketidakberhasilan pendidikan kita dalam
memanusiakan peserta didik.
Jika
memang ingin pendidikan yang memintarkan sekaligus memanusiakan peserta didik,
maka cara yang paling efektif dan efisien adalah dengan menghapuskan ujian
akhir nasional, sehingga para guru akan bertanggungjawab penuh terhadap “output
sikap” peserta didik yang pada akhirnya juga akan berimbas kepada “output
nilai” peserta didik, bukan sebaliknya. Nilai bukanlah patokan “dimilikinya
ilmu”, tetapi proses dalam belajar itulah yang seharusnya menjadi acuan utama.
Sadar
atau tidak, pendidikan selain untuk mencerdaskan bangsa, juga membantu untuk
mendewasakan bangsa, sehingga bangsa bisa memiliki karakter yang berpendidikan
moral. Secara mendasar, pendidikan ada karena ada manusia. Oleh karena itu, pendidikan
ada hanya untuk manusia bukan untuk hewan atau sejenisnya. Hal mendasar seperti
inilah yang perlu kita catat besar-besar di kepala kita khususnya bagi mereka yang
menjadi seorang guru. Sebab kita sering kali melupakan bahwa orang yang menjadi
amanat kita adalah manusia yang memiliki keragam dan keseragaman yang begitu
kompleks.
Sebuah pernyataan yang lazim dan
sering kita dengarkan bahwa tujuan sejati pendidikan adalah menusiakan manusia.
Ungkapan ini seakan terus diperbincangkan dan disetujui untuk dilaksanakan
dalam praktik kehidupan sebagai penggiat dan pelaksana pendidikan. Satu hal yang
menjadi pertanyaan adalah bagaimana caranya agar pendidikan dapat memanusiakan manusia?
Pada hakikatnya seorang pendidik adalah seorang fasilitator. Fasilitator baik
dalam aspek kognitif, afektif, psikomotorik maupun konatif. Seorang pendidik
hendaknya mampu membangun suasana belajar yang kondusif untuk belajar-mandiri. Ia juga
hendaknya mampu menjadikan proses pembelajaran sebagai kegiatan eksplorasi
diri. Galileo menegaskan bahwa sebenarnya kita tidak dapat mengajarkan apapun,
kita hanya dapat membantu peserta didik untuk menemukan dirinya dan
mengaktualisasikan dirinya. Setiap pribadi manusia memiliki “self hidden potential excellece” (mutiara
talenta yang tersembunyi di dalam diri), tugas
pendidikan yang sejati adalah membantu peserta didik untuk menemukan dan mengembangkannya
seoptimal mungkin atau dalam ungkapan lain Emily Calhoun ratusan kali berkata
“Mengajar yang sesungguhnya adalah mengajarkan siswa bagaimana belajar”
atau “sekolah merupakan tempat untuk belajar bagaimana caranya belajar”. Seorang pendidik yang efektif, tidak hanya efektif dalam
kegiatan belajar mengajar di kelas saja tetapi lebih-lebih dalam relasi
pribadinya dan role modelnya, baik
kepada peserta didik maupun kepada seluruh anggota komunitas sekolah.
Dalam mendidik seseorang kita
hendaknya mampu menerima diri sebagaimana adanya dan kemudian mengungkapkannya
secara jujur. Mendidik tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, melatih
keterampilan verbal kepada para peserta didik, namun
merupakan bantuan agar peserta didik dapat menumbuh kembangkan dirinya
secara optimal. Mendidik yang efektif pada dasarnya merupakan kemampun
seseorang menghadirkan diri sedemikian rupa sehingga pendidik memiliki relasi
yang bermakna pendidikan dengan para peserta didik sehingga mereka mampu
menumbuh kembangkan dirinya menjadi pribadi dewasa dan matang. Pendidikan yang
efektif adalah yang berpusat pada siswa atau
pendidikan bagi siswa. Dasar
pendidikannya adalah apa yang menjadi minat, dan kebutuhan-kebutuhan
peserta didik. Pendidik membantu peserta didik untuk menemukan, mengembangkan
dan mencoba mempraktikkan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki. Ciri utama
pendidikan yang berpusat pada siswa adalah bahwa pendidik menghormati,
menghargai dan menerima siswa sebagaimana adanya. Tujuan sejati dari pendidikan
seharusnya adalah pertumbuhan dan perkembangan diri peserta didik secara utuh
sehingga mereka menjadi pribadi dewasa yang matang dan mapan, mampu menghadapi
berbagai masalah dan konflik dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan pendidikan
pada hakikatnya adalah memanusiakan manusia muda (N.Driyarkara). Semoga postingan artikel saya ini bermanfaat bagi para pembacanya. Kritik dan saran tentunya sangat saya harapkan, terima kasih.
Referensi:
Dipost tanggal 05 April 2013
11:42:35 http://www.kompasiana.com/palti/memaknai-kata-
Dipost
oleh Ismanto Guru Penias tanggal 31 Januari 2014
diakses
pada tanggal 29 Juni 2015
http://edukasi.kompasiana.com/2012/05/28/pendidik-dalam-filsafat-pendidikan/
diakses pada tanggal
29 Juni 2015
Biodata :
Nama : Tri Lestari
NPM : 036113090
Semester :IV/C
Di posting tanggal 5 Juli 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar